Minggu, 13 Maret 2011

demokrasi pssi

Piala AFF telah berakhir, pesta kini telah usai. Menang sebanyak 6 kali sepanjang turnamen dan hanya kalah sekali tetap saja membuat sepakbola negeri ini gagal menjadi Juara. Namun masyarakat tetap bangga terhadap mereka, perjuangan mereka selama 90 menit yang terus berjuang spartan dan tak pernah menyerah dan tak mau kalah benar-benar membuat kita terhibur dan terharu. Akan tetapi bagi dunia persepakbolaan nasional, perjalanan Timnas tetap belum beranjak, bahkan kita hanya sekedar berjalan ditempat, tertinggal satu, dua langkah dari Malaysia.
Seluruh bangsa ini memang memberi selamat kepada para pemain, sepakbola telah menyatukan kita semua sepanjang turnamen, mempersempit jarak antara kaum minoritas dan mayoritas, dimana seorang Presiden bisa sama gembiranya dengan pedagang asongan yang berjualan di dalam stadion ketika Para pemain mencetak gol. Hampir sepanjang hari di bulan ini, sepakbola menjadi headline berita dimana-mana, ini merupakan  bukti bahwa bangsa ini haus akan sosok yang dapat dijadikan panutan. Negeri ini rindu orang-orang seperti mereka, yang memang benar-benar berjuang dari bawah dan membela panji merah putih di pentas dunia.
Kebanyakan pemain Timnas kita  juga berasal dari keluarga yang mempunyai kondisi ekonomi yang rendah, bahkan Zulkifli Syukur pun sampai harus menjadi tukang cuci piring untuk membeli sepasang sepatu bola kala kecil dulu. Cerita miris tersebut bukan hanya dialami oleh Zulkifli Syukur tapi dialami juga oleh rata-rata kebanyakan dari pemain timnas yang memang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Tekad mereka sungguh mulia dan memang sudah dipupuk sejak mereka masih kanak-kanak untuk dapat membela nama bangsa dengan mengenakan lambang Garuda di dada serta berjuang mati-matian demi kebesaran bangsa ini.
Mereka adalah salah satu pahlawan rakyat yang sebenarnya, memulai karir dari bawah dan benar-benar berjuang untuk bangsa ini, bukan seperti Wakil Rakyat yang katanya pilihan rakyat tapi jarang berjuang untuk rakyat bahkan terkadang keputusannya menyengsarakan rakyat. Negeri ini butuh teladan dan anak-anak muda kita perlu contoh konkrit atas kehadiran sosok teladan. Negeri ini sudah kacau, televisi sudah terlalu banyak menampilkan tayangan yang jauh dari mendidik, Sinetron terlalu banyak menampilkan sisi negatif, berita pun terlalu sering menampakan sisi buruknya negeri ini, rakyat kita ini sebenarnya sudah muak dengan busuknya sistem hukum dan pemerintahan yang ada di negeri ini dan permainan para timnas kemarin benar-benar bisa memberikan satu tontonan yang positif bagi generasi penerus.
Tugas para pahlawan kita ini sungguh berat, menjadi pasukan terdepan di dalam lapangan yang harus selalu siap menghadapi lawan seperti apapun walau terkadang harus dimulai dengan senjata seadanya namun mereka tetap dituntut harus berbuat maksimal. Beban yang harus mereka pikul pada pertandingan kemarin begitu besar, seluruh harapan 100 juta rakyat indonesia ada dipundak mereka, tapi hebatnya mereka tetap bisa tampil spartan dan patriotik. Bandingkan dengan kita, yang terkadang dituntut untuk bisa membahagaikan orang tuanya saja sudah menjadi beban yang begitu besar dan terkadang sulit dilaksanakan, apalagi para pemain Timnas di lapangan. Wajar jika akhirnya kita memberikan apresiasi besar terhadap mereka walau kemarin kita gagal juara, bahkan harian “Straits Times” hari ini menuliskan “common Sense Wins The Day At Suzuki Cup Final.” ini membuktikan Timnas telah memenangkan hati seratus juta rakyat yang telah melihat perjuangan mereka kemarin.

Timnas telah membakar kembali semangat nasionalisme kita, jika mereka bisa, kitapun mampu berbuat banyak untuk membangun kebesaran bangsa ini dengan keahlian kita masing-masing. Masyarakat punya sesuatu yang dapat dibanggakan kini, rasa nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah air pernah mendadak muncul lagi ketika Indonesia kedatangan Presiden Amerika yaitu Barack Obama, hanya dengan berucap “Apa Kabar dan Bakso” saja seluruh penonton yang hadir pada saat acara pidato umumnya di UI sontak bertepuk tangan dan kagum kembali terhadap bangsa ini karena ada orang luar yang begitu perduli terhadap budaya dan bangsa ini. Rakyat kita ini sebenarnya sudah kalut dan galau bahkan cenderung frustasi, budaya yang kita miliki banyak, tapi tidak banyak di antara masyarakat yang perduli dengan budaya sendiri, keperdulian justru baru muncul ketika budaya kita sudah diklaim satu-satu oleh negara lain.
Inilah PSSI
Pujian terhadap Timnas tidak menular kepada PSSI, masyarakat yang tadinya tidak mengerti sepakbola akhirnya tahu kenapa para suporter begitu membenci NH. Kita semua kini punya musuh yang sama, sepakbola adalah alat perjuangan bagi mereka yang menginginkan perubahan bukan untuk kepentingan golongan. Keadaan sekarang memang berbanding terbalik dengan sejarah awal pembentukan PSSI, sepak bola pada waktu itu digunakan sebagai salah satu senjata untuk mengumpulkan orang-orang Indonesia dan mengusir penjajah Belanda keluar meninggalkan Indonesia oleh seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo, yang lulus di Jerman dan kembali ke Indonesia pada 1928.
Namun kini sepakbola adalah kendaraan politik yang nyaman bagi elit politikus. Sepakbola kita sebenarnya rusak sejak lama namun kehadiran NH di PSSI  pun hanya semakin menambah runyamnya keadaan sepakbola nasional. Organisasi ini rusak secara sistemik dan bukan cuma karena NH dkk. Pengda dan Pengcab adalah sumber kebobrokan yang terpelihara, Klub-klub plat merah adalah proyek kelas kakap politikus daerah, saya tidak pernah habis pikir bagaimana seorang Ketua Umum klub plat merah yang saya sebut sebagai klub sangat-sangat amatir ini selalu dipegang oleh seorang kepala daerah atau orang Pemda dan bukan dari lingkup profesional ??  Rata-rata dari mereka menggunakan klub untuk mengeruk keuntungan dari APBD dan loyalitas suporter. Jikalau prestasi klub mengkilat mereka berharap perjuangan mereka terbalaskan pada pilkada di musim mendatang oleh sebab adanya dukungan spartan dari kaum suporter.
Benar kata Bung Karno “Perjuangan kita belum berakhir, Perjuangan yang lebih sulit adalah melawan bangsa sendiri.” Suporter kita sendiri lebih sibuk musuhan dengan suporter lain dibandingkan dengan menggalang kekuatan untuk meruntuhkan kerajaan NH dkk agar sepakbola kita lebih baik.  Mental pejabat adalah mental rusak yang sewaktu-waktu bisa membius suporter dengan buaian janji-janji mereka kepada klub yang mereka bela, maka untuk apalagi kita mempertahankan mereka untuk duduk didalam klub. Kongres PSSI yang akan berlangsung di awal tahun saya yakin tidak akan banyak mendatangkan perubahan, klub-klub yang punya suara seakan sudah nyaman dengan kue APBD yang mereka dapatkan setiap tahun. Melihat tingkah hancurnya sepakbola nasional secara perlahan ini tidak ubahnya ketika saya eneg melihat sistem yang sudah bobrok dikepolisian, dari bawah sudah rusak apalagi yang diatas.  Saling menutupi dan melempar kesalahan adalah sikap yang selalu muncul ketika orang sedang dalam keadaan terdesak, itu merupakan jurus difensif yang sudah biasa kita lihat. Maka tidak heran NH bisa berucap macam-macam dengan bebasnya ketika kita kembali gagal meraih piala disetiap turnamen yang di ikuti.
Bangsa Yahudi menguasai dunia dengan teknologi salah satunya lewat stasiun televisi, berita diseluruh dunia dikuasai oleh Yahudi, mereka adalah pusat berita dunia yang dapat mengatur setiap pemberitaan sedemikian rupa diseluruh dunia. Cara yang sama dilakukan oleh Politikus negeri ini. Beberapa media dibuat untuk menyebarkan berita yang tidak bersinggungan dengan kepentingan golongan, Jangan heran kalau NH dkk bisa nyerocos sembarangan di TV milik bosnya. Pers memang punya kode etik tetapi tidak akan mudah menyentuh hal-hal seperti ini. Demokrasi di artikan kebablasan di era reformasi ini oleh PSSI, NH mengaku tidak akan mundur karena tugasnya sebagai ketua PSSI merupakan amanat dari seluruh anggota PSSI, kalau mau menurunkan dia, ya harus lewat sistem yang dibuat oleh PSSI. Seperti yang saya bilang dari awal wakil rakyat saja tidak pernah dengar suara rakyat, apalagi pengcab, Pengda dan klub-klub plat merah yang sibuk mengurus jatah masing-masing dibandingkan mendengar keluhan suporter yang tidak akan pernah ada habisnya.  Pemimpin kita memang sudah tidak punya budaya malu seperti rakyatnya.
Dinegeri ini semua nya aneh, bangsa kita sudah terdidik dari jaman Soeharto untuk dilahirkan jadi manusia yang manipulatif, maka jangan heran walau sudah kena reformasi bangsa ini tetap punya nuansa yang sama dengan era orde baru, ya karena para penerusnya memang tetap menduduki posisi penting di negeri ini. Kegagalan Timnas bukan karena takdir, tapi karena PSSI yang sudah rusak, suasana liga yang tidak kondusif adalah cerminan buruknya kualitas pemain Timnas, coba anda bayangkan Persipura saja yang bisa dengan mudah menang besar di ISL ketika masuk Liga Champion Asia jadi bulan-bulanan tim-tim asia, jangankan Persipura, Persiwa Wamena yang kelihatan solid di ISL saja ketika bertanding melawan tim antah berantah dari daratan Asia Selatan saja kalah di ajang AFC Cup pada saat bermain di Indonesia, kalau sudah begini pasti ada yang salah dengan iklim kompetisi negeri ini. Singapura pun protes keras karena kualitas pemainnya yang bermain di ISL menurun ketika tampil di Piala AFF. Jujur perjuangan timnas sampai ke Final Piala AFF itu karena buah kerja keras Alfred Riedl dkk beserta BTN, dan bukan karena meningkatnya kualitas ISL. Di sini Juara bisa dibeli dan Hukuman bisa dinego. Untuk urusan pencitraan dan atur upeti, Manager tim jagonya. Sekarang bola ada ditangan para suporter, kita semua punya momentum yang tepat untuk memperbaiki sepakbola nasional. Revolusi adalah harga mati, pengurus Pengcab dan Pengda yang rusak harus segera disingkirkan, ganyang NH sudah tidak bisa ditolerir. Sepakbola bukan sarana korupsi, sepakbola ajangnya fair play, jika kondisi fair play saja sudah dicederai, apa olahraga ini bisa disebut sukses saat ini.
Tujuan kita sama, penulis hanya ingin sepakbola kita berbuat banyak di pentas dunia. Kita ingin kembali sejajar dengan negara-negara kuat di Asia lainnya seperti tujuan pendiri negeri ini. Mari kita sama-sama memilih calon pemimpin PSSI yang bisa bekerja dengan sebenar-benarnya, Massa yang bergerak adalah murni karena gerakan rakyat yang menuntut perubahan dan bukan karena dipolitisir sebagaimana NH dkk mempolitisir PSSI.  Kami juga bukan massa bayaran layaknya NH yang menjadi kader bayaran justru kami bayar tiket untuk meneriakan anda TURUN. Semoga Tuhan menjawab do’a kami malam itu, sepakbola sudah dizhalimi oleh sebagian orang yang mencari keuntungan semata. Jauhkanlah mereka ya Tuhan untuk Indonesia dan untuk perubahan sepakbola nasional yang lebih baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar